Nov 4, 2016

Bukan Cerita Benar (8)

     Ka, saya benar baik-baik saja. Saya sudah berbaikan dengan ketidakpedulianmu, sudah berdamai dengan kepergianmu, bahkan sudah bersahabat dengan kehilanganmu. Saya sudah kebal dengan yang namanya diremehkan, atau disepelekan, atau dientengkan. Percaya saja omong kosong ini, Ka, agar kamu juga bisa bersih hati dan tidak lagi berat hati melihat saya seperti ini. Saya tidak janji ini adalah surat terakhir, tapi saya janji ini akan menjadi akhir dari pengulangan cerita.
     Untuk yang terakhir kalinya, saya akan nostalgia. Nostalgia tentang pertemuan, perpisahan, dan diantaranya. Satu, dua, dan diantaranya. Tulus, dusta, dan diantaranya. Cinta, cela, dan diantaranya. Binar, redup, dan diantaranya. Hangat, beku, dan diantaranya. Utuh, hancur, dan diantaranya. Kamis, Senin, dan diantaranya. Barat, Tengah, dan diantaranya. Saya, Kano, dan diantaranya. "Antara".
Iya benar, saya masih mengunci diri di Antara. Iya benar, saya masih ingin tinggal, masih betah, masih ogah cari tempat singgah baru, karena alasan yang sederhana saja. Rumah, seberapa reyot fondasinya, seberapa kumuh rupanya, tetaplah rumah yang sejatinya adalah tempat pulang dan kembali. Memang sekarang saya yang merawat sendiri, saya yang membenahi sendiri, saya juga yang menjaga sendiri, tidak apa-apa. Saya masih menunggu kamu kembali. Biar nanti saya bisa tunjukkan ke kamu seberapa besar kesungguhan kasih saya untuk Antara.
     Kano yang belakangan ini semakin sering muncul dalam tidur saya, entahlah, saya kadung kuyup atau memang suka main air. Tapi yang jelas, saya tidak mencipratkan air ini ke kamu. Jadi kalau kamu basah, itu karena kamu tidak sadar kemana melangkahkan dan dimana menginjakkan kaki. Ka, saya memang berdoa suatu hari saya jumpa kamu lagi di muka pintu Antara, tapi kalau ternyata kamu sekarang duduk di singgasana, saya tidak apa-apa. Lambat laun Antara juga tidak memungkinkan lagi untuk saya bangun sendiri, sampai akhirnya roboh. Kalau memang singgasana itu lebih nyaman dan membuat kamu bahagia, saya akan berdoa agar kamu tidak perlu lagi menoleh kesini, saya akan berdoa agar kamu tidak perlu bahkan ingat bahwa ada tempat bernama "Antara". Saya bukannya munafik, tapi kalau kamu ada di posisi saya, kamu akan mengerti kalau berjuang sendiri dalam waktu yang tidak sebentar itu akan mengajarkan kamu esensi waktu dan batasan dalam menunggu. Saya tidak tahu bagaimana kamu sekarang, tidak lagi ingin tahu, tidak lagi ingin sakit. Seperti kamu yang juga tidak tahu bagaimana saya sekarang, tidak lagi ingin tahu, tidak lagi ingin terapit. Ka, jika asa dan rasa dipaksa dan direkayasa, hanya akan didapati nelangsa, sia-sia. Ini jawaban saya untuk pertanyaan terbesar yang katanya menahan kamu.
     Untuk Kano Radiksa, jika kamu menemukan surat ini, tolong baik-baik pikirkan bagaimana bisa sebuah surat yang dikirim tanpa disertai alamat, tetap bisa sampai ke orang yang dituju?